“Film mempunyai daya jelajah yang luas. Bisa diputar di ruang diskusi, festival, serta menjangkau banyak orang. Saya menggunakan sudut pandang itu untuk memilih dan menyuarakan isu-isu yang menjadi perhatian saya,” ucap Tonny Trimarsanto dalam perhelatan AAS-in-Asia 2024 yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tonny merupakan seorang sutradara dokumenter peraih Piala Citra 2017 kategori Film Dokumenter Panjang terbaik untuk filmnya yang berjudul Bulu Mata. Pada hari ketiga AAS-in-Asia (11/07), salah satu filmnya berjudul Suatu Hari Nanti (2021) diputar dalam program spesial pemutaran dan diskusi film bertajuk “Documenting Differences, Voicing Hopes”.
Dalam program spesial ini, film Suatu Hari Nanti (2021) diputar bersamaan dengan film dokumenter animasi pendek Annah La Javanaise (2020) yang disutradarai oleh Fatimah Tobing Rony. Suatu Hari Nanti (2021) merupakan dokumenter tentang kehidupan waria difabel penyintas HIV/AIDS asal Bandung bernama Farah yang aktif melakukan advokasi dan pendampingan bagi sesama waria. Sementara itu, Annah La Javanaise (2020) menceritakan kisah perempuan Jawa bernama Annah yang dijual orang tuanya ke Perancis hingga kemudian menjadi budak seniman Perancis bernama Paul Gauguin. Melalui program spesial pemutaran film, AAS-in-Asia 2024 berharap dapat membuka ruang diskusi konstruktif mengenai isu-isu yang direpresentasikan dalam film, yakni permasalahan transpuan, minoritas, peliyanan (othering), dan kesetaraan.
Pemutaran film diakhiri dengan diskusi yang didampingi oleh produser sekaligus sutradara Nia Dinata, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus akademisi film Budi Irawanto, dan dosen Antropologi UGM Suzie Handajani. Dalam proses diskusi, Budi menguraikan analisis singkat mengenai adegan-adegan penting yang beresonansi dengan isu yang dibawakan. Ungkapnya, “Dalam Annah La Javanaise, adegan pertemuan Annah dengan anak perempuan kulit putih menjadi penting, sebab tatapan perempuan kulit putih tersebut menunjukkan adanya peliyanan terhadap Annah sebagai non-kulit putih.”. Sementara itu, sebagai pembuat film yang bersimpati terhadap kaum transpuan, Tonny mengungkapkan alasannya menyoroti isu transpuan di dalam film-filmnya hingga ia dijuluki ‘Sutradara spesialisasi waria’. Ia mengatakan, ”Masalah-masalah yang dihadapi kaum waria tidak pernah selesai, sehingga penting untuk kita terus saling mengingatkan.”
Menjadi Ally bagi Kaum Minoritas
Meski kerap menyuarakan isu-isu minoritas, Tonny dan Nia mengakui posisionalitas mereka sebagai kalangan heteroseksual yang notabene merupakan mayoritas. Namun, sebagai produser, Nia juga telah sering berkolaborasi dengan pembuat film dari kalangan LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer). Menurut Nia, sangat penting untuk mengetahui isu-isu yang mereka hadapi langsung dari sudut pandang mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Budi Irawanto saat membicarakan isu representasi Asia dalam industri film global, karena pada dasarnya peliyanan atau othering bisa terjadi dalam berbagai persoalan minoritas, mulai dari gender, orientasi seksual, disabilitas, hingga isu rasisme. “Dalam industri film global, Asia kerap direpresentasikan secara stereotipikal, sehingga cara terbaik untuk merepresentasikan Asia adalah melalui sudut pandang orang Asia itu sendiri,” ungkap Budi.
Akan tetapi, Tonny dan Nia mengakui bahwa kaum minoritas seringkali tidak memiliki ruang yang cukup aman untuk bersuara, sehingga kehadiran ally menjadi penting bagi mereka. Dalam bahasa Indonesia, padanan kata ally adalah sekutu. Namun, diksi ‘sekutu’ memiliki konotasi negatif sehingga sampai saat ini, istilah ally masih lebih sering digunakan untuk mendeskripsikan kaum mayoritas yang bersimpati dan turut berbaur dengan kaum minoritas. Kiprah Tonny dan Nia dalam dunia perfilman merupakan wujud nyata pentingnya keberadaan ally dalam menyuarakan isu-isu minoritas sehingga bisa merangkul lebih banyak ally, meskipun tentu ada konsekuensi yang harus mereka hadapi. Tony menganggap julukan ‘sutradara spesialis waria’ Tonny sebagai apresiasi, sementara Nia kerap menerima komentar buruk dari warganet tiap film-filmnya rilis. “Mereka merundung saya hanya karena saya ally, tapi saya tidak peduli. Saya tidak mau memberi ruang untuk mereka,” ungkapnya.
Untuk dapat menjadi ally yang baik, Nia menyatakan bahwa kita tidak bisa hanya peduli terhadap satu isu minoritas dan mengabaikan isu lainnya. Itulah mengapa, sebagai perempuan, ia tidak bisa hanya peduli pada isu-isu perempuan. “Jika kita percaya dan peduli terhadap isu-isu perempuan, terhadap isu-isu kemanusiaan, maka kita juga harus percaya pada isu LGBT karena mereka juga manusia. Kamu tidak bisa memilih ‘Oh, saya hanya ingin membela perempuan’. Tidak begitu. Jika kamu ingin membela perempuan dan anak-anak, maka kamu juga harus membela kelompok minoritas yang lain. Dalam hidup saya, itulah cara saya konsisten dengan nilai-nilai yang saya percaya. Konsisten dengan pekerjaan saya,” pungkas Nia.
Penulis: Asmi Nur Aisyah
Foto: Leonardo Yudha & Mukhammad Aziz
SDG 5 (gender equality)