Memahami Profil Kemiskinan Kultural Masyarakat Ex-Pengungsi Timor-Timur di Perbatasan Nusa Tenggara Timur (Bagian 1)

Dr.Vidhyandika D. Perkasa M.Sc., pengajar di program studi Kajian Budaya dan Media (KBM), UGM bersama dengan dua mahasiswa KBM, Rizky Indra Dewangga, S.Ant. dan Salsabila Azzahra, S.I.Kom. telah melakukan penelitian yang berjudul ‘Kemiskinan Kultural Eks Pengungsi Timor-Timur dan Problem Redistribusi Dana Desa: Studi Kasus di Perbatasan Nusa Tenggara Timur’. Penelitian ini didanai dari skema ‘Dana Hibah Penelitian Dosen, Sekolah Pascasarjana 2024’ dengan tema ‘Transformasi Menuju Indonesia Berdaulat’. Fokus penelitian yang diusung Vidhyandika beserta tim adalah untuk menyasar gol pertama dari Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu  ‘No poverty atau ‘tanpa kemiskinan’

 

Penelitian ini dilakukan di dua desa di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu Desa Sadi dan Desa Silawan. Alasan pemilihan dua desa ini adalah konsentrasi masyarakat eks-pengungsi Timor Timur yang cukup tinggi serta dengan pertimbangan tingkat kemiskinan yang dialami. Kabupaten Belu dengan ibu kotanya di Kota Atambua berjarak 274, 5 km dari kota Kupang, dapat ditempuh kurang lebih selama 6.5 jam dengan kendaraan darat dan melewati jalan yang berkelok-kelok. Alternatif menggunakan pesawat terbang tersedia dengan Wings Air menggunakan pesawat jenis ATR 72 hanya saja dirasa kurang praktis karena seringkali terjadi pembatalan atau penundaan penerbangan. 

Laporan BPS Provinsi NTT tahun 2024 menunjukkan bahwa wilayah NTT merekam angka kemiskinan yang tajam dari rerata nasional sebesar 19,96% pada tahun 2023. Minat melakukan penelitian ini bermula dari rasa keprihatinan melihat kehidupan masyarakat eks-pengungsi Timor-Timur yang masih hidup dalam kemiskinan. Ada tanda tanya besar mengapa mereka tetap hidup dalam kemiskinan meskipun mereka secara legalitas telah menjadi bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI) sejak tahun 1999/2000. Apakah ada masalah kebijakan yang tidak efektif di sini?

Bila ditinjau dari aspek sejarah, sejak konflik maupun setelah referendum pada 30 Agustus 1999, jumlah korban kekerasan jajak pendapat (referendum) diketahui sebanyak 450.000 orang, di mana 240.000 orang adalah pengungsi lintas batas (refugees) yang melakukan eksodus ke Timor bagian barat (sekarang Provinsi NTT), dan 210.000 mengalami eksklusi secara sosial-politik di dalam wilayah Timor Timur – yang kemudian digolongkan sebagai IDP (Internally Displaced Person) (Wassel 2014:3; UNHCR 2002). Mereka mengungsi ke wilayah Indonesia karena alasan keamanan. Menurut Achmad (2013) jumlah pengungsi berada di luar perkiraan pemerintah Provinsi NTT, sehingga berdampak pada penanganan pengungsi di berbagai kamp-kamp pengungsian. Status sebagai pengungsi jelas menambah kerentanan serta memperburuk kondisi kemiskinan yang mereka alami.

Penelitian lapangan dilaksanakan pada tanggal 24-29 Juni 2024. Karena keterlambatan pesawat, Peneliti baru tiba di Atambua sekitar jam 22.00 WITA. Keesokan harinya, peneliti mengadakan rapat dengan asisten lokal yang bertugas menjadwalkan wawancara dengan beberapa informan (narasumber) baik di Desa Sadi maupun Silawan. Selanjutnya, peneliti menemui Kepala Desa Sadi untuk menjelaskan maksud dari penelitian ini sekaligus meminta izin untuk melakukan wawancara dengan beberapa warga. Dalam kesempatan ini peneliti juga menggali informasi penting dari Kepala Desa Sadi. Jarak antara Desa Sadi dan Kota Atambua adalah 10 kilometer atau sekitar 18 menit perjalanan dengan mobil. Pada hari itu, peneliti juga hadir dalam rapat warga desa untuk pemutakhiran data kemiskinan karena sangat relevan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Suasana di Desa Sadi sangat kering dan panas serta didominasi rumah-rumah beratap seng serta daun kelapa, juga dinding dari kayu ataupun bambu.

Foto 1: Rapat warga Desa Sadi terkait pemutakhiran data kemiskinan

 

Foto 2: Satu rumah penduduk eks-pengungsi Timor Timur di Desa Sadi

 

Selama melakukan penggalian data di Desa Sadi, peneliti berusaha melakukan wawancara baik kepada penduduk asli maupun masyarakat eks-pengungsi Timor Timur. Hal ini bertujuan untuk melihat interaksi di antara dua lapisan masyarakat. Sangat mengejutkan juga bahwa beberapa informan yang ditemui tidak bisa berbahasa Indonesia, khususnya yang berusia lanjut, sehingga perlu diterjemahkan oleh warga lokal dari bahasa Kemak ke Indonesia. Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Sadi adalah petani yang sangat bergantung pada air hujan untuk mengairi sawahnya.

Foto 3: Salah satu informan eks pengungsi Timor Timur di desa Sadi yang sudah lanjut usia dan tidak bisa berbahasa Indonesia

 

Sambil melakukan observasi secara visual dan melakukan wawancara mendalam dengan para informan di desa Sadi, ditemukan sumber utama dari penyebab kemiskinan yang mereka alami yaitu kekeringan. Kekeringan terjadi karena perubahan iklim maupun sistem irigasi yang belum merata. Karena kekeringan ini, masyarakat seringkali mengalami gagal panen. Masyarakat juga harus membeli air dari mobil tangki keliling untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Penyebab kemiskinan lainnya adalah tuntutan adat khususnya untuk acara kematian, lamaran, dan perkawinan. Masyarakat dituntut untuk menyediakan babi, kambing maupun sapi sebagai bentuk kontribusi mereka dalam acara-acara tersebut. Ada rasa gengsi dan malu apabila tidak bisa memenuhi atau berkontribusi, bahkan tidak sedikit yang percaya akan adanya karma atau kutukan yang akan menimpa mereka yang tidak bisa berkontribusi. Masyarakat bergantung sepenuhnya pada keluarga, karena keluargalah yang bisa bergotong royong dan membantu mereka memenuhi tuntutan adat. Akan tetapi, bila tidak ada keluarga yang bisa diandalkan, berhutang merupakan solusinya.

Dari penelitian yang dilakukan di Kabupaten Belu, penyebab kemiskinan lain yang ditemukan di desa Sadi adalah ketersediaan lapangan kerja yang minim. Para lulusan SMA atau perguruan tinggi seringkali harus mencari pekerjaan di luar Kabupaten Belu. Selain karena ketersediaan lapangan kerja, beberapa informan yang diwawancarai sudah berusia lanjut dengan latar belakang pendidikan yang terbatas. Hal ini semakin mempersulit warga Sadi untuk mencari pekerjaan formal. Dengan demikian satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan bekerja sendiri, seperti bertani, berkebun, mencari ikan atau membuka warung kecil. Meski begitu, peneliti tidak melihat banyak intervensi dari pemerintah untuk memperbaiki situasi ini. Bantuan yang diterima, seperti beras dan PKH dalam bentuk tunai sebesar Rp. 300.000/bulan juga tidak menentu. Beberapa penduduk telah menerima bantuan fiber (penampungan air) dari pemerintah tetapi di musim kemarau, masyarakat tetap harus membeli air sendiri. (Bersambung ke Bagian 2)

 

Foto 4: Wawancara dengan warga eks-pengungsi Timor Timur di Desa Sadi di dalam rumahnya 

 

Daftar Pustaka:

Achmad, J. (2013). East Timorese Refugees in West Timor,dalam buku Destruction and Reconstruction of East Timor, editor James J. Fox dan Dionisio Babo Soares, edt. 2000. ANU Press, Canberra.

BPS Provinsi NTT. (2024). Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2024 (53000.24005)

UNHCR. (2002). East Timorese Refugees in West Timor. Global Appeal (Addendum). 

Wassel, T. (2014). Timor Leste: Links Between Peacebuilding, Conflict Prevention and Durable Solutions to Displacement. Brooking-LSE: Project of Internally  Displacement

 

Kontributor: Dr.Vidhyandika D. Perkasa, Rizky Indra Dewangga, Salsabila Azzahra

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*