Memahami Profil Kemiskinan Kultural Masyarakat Ex-Pengungsi Timor-Timur di Perbatasan Nusa Tenggara Timur (Bagian 2)

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dijumpai di desa Silawan. Peneliti melakukan kunjungan pertama dan bertemu dengan Kepala Desa Silawan untuk menjelaskan tujuan dari penelitian ini. Desa Silawan terletak 17, 5 km dari kota Atambua atau 29 menit perjalanan darat dengan mobil. Desa Silawan letaknya tidak jauh dari Pos Lintas Batas Negara Terpadu (PLBNT) Motaain yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Leste. Banyak pemuda dari desa Silawan mengandalkan PLBNT Motaain ini untuk bekerja dan bertahan hidup. Sementara itu, masyarakat yang lain bertahan hidup dengan bekerja sebagai nelayan. Bekerja sebagai nelayan juga memiliki tantangannya sendiri, selain harus menghadapi keganasan ombak dan kerasnya angin laut, hasil tangkapan ikan sepenuhnya juga tergantung dari cuaca, ombak, serta keberuntungan. Hal ini menempatkan mereka pada posisi yang selalu rentan dan diliputi ketidakpastian setiap harinya. 

Foto 1: Wawancara dengan informan eks-pengungsi Timor Leste di desa Silawan yang berprofesi sebagai nelayan dengan kondisi rumah yang sangat memprihatinkan

 

Seperti yang dijumpai di desa Sadi, masyarakat di desa Silawan juga memiliki tuntutan adat yang harus dipenuhi. Sebagai strategi untuk bertahan, mereka mengandalkan saudara-saudaranya baik yang menetap di desa Silawan maupun di Timor Leste untuk saling membantu secara ekonomi. Menarik untuk diketahui bahwa beberapa eks-pengungsi yang awalnya menetap di Silawan akhirnya kembali ke Timor Leste. Di Timor Leste mereka masih mempunyai aset seperti tanah atau kebun yang bisa diolah. Ada juga yang bolak-balik melakukan perjalanan dari desa Silawan ke Timor Leste. Sewaktu ditanya terkait perbedaan kondisi di desa Silawan dengan daerahnya di Timor Leste, mereka berpendapat ‘sama saja’. Mempunyai usaha baik di desa Silawan maupun di Timor Leste merupakan langkah cerdik untuk melakukan diversifikasi untuk bertahan hidup secara ekonomi. 

 

Foto 2: Satu bentuk rumah nelayan di desa Silawan yang cukup memprihatinkan

 

Meskipun demikian, intervensi pemerintah dirasa masih kurang untuk membantu secara ekonomi. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk perbaikan atau renovasi rumah karena beberapa rumah yang dihuni oleh masyarakat eks-pengungsi Timor Timur tersebut dibangun di atas tanah orang lain dengan status menumpang. Mereka bisa saja diminta pindah sewaktu-waktu.

Menarik juga untuk dibahas terkait aksesibilitas terhadap dana desa yang menjadi salah satu fokus dari penelitian ini. Mayoritas informan yang diwawancarai mengaku tidak pernah terlibat dalam musyawarah penggunaan dana desa. Ada seorang informan yang mengaku bahwa dana desa sudah ‘dikuasai’ oleh Kepala Desa. Siapa yang ‘dekat’ dengan beliau akan mendapat manfaatnya. Meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa aparat Kepala Desa sudah menentukan siapa yang akan dilibatkan dalam musyawarah dana desa sebagai representasi masyarakat dengan pertimbangan kemampuan orang tersebut mengutarakan pendapat. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih banyak diam bila diundang untuk bermusyawarah.

Sebagai catatan penutup, meskipun terlihat sudah tidak ada lagi istilah yang mengkotak-kotakan antara masyarakat eks-pengungsi dan masyarakat asli, mayoritas penduduk di desa Sadi maupun Silawan masih hidup dalam kemiskinan. Artinya labeling sebagai eks–pengungsi cenderung tidak menghasilkan suatu bentuk yang diskriminatif dari si pemberi bantuan. 

Pemerintah daerah mengaku tidak melakukan pembedaan dalam memberikan bantuan ke masyarakat. Siapa yang terlibat dalam musyawarah dana desa juga tidak didasarkan pada labeling pengungsi atau bukan. Meskipun demikian, memang terlihat ada nuansa keterbatasan dari pemerintah daerah untuk memberikan bantuan ini baik kepada masyarakat eks-pengungsi maupun masyarakat asli. Di tengah keterbatasan pemerintah daerah, masyarakat eks-pengungsi justru terbantu oleh masyarakat lokal misalnya dalam meminjamkan tanah untuk dihuni atau digarap. Bantuan ini dilandasi rasa persaudaraan bahwa masyarakat eks-pengungsi masih dianggap satu etnis/suku.

Kemiskinan di Provinsi NTT secara umum dan di Kabupaten Belu secara khusus adalah masalah yang sangat kompleks. Selain karena keterbatasan anggaran karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang minim, ada juga permasalahan kultural dan mentalitas yang menjerat masyarakat untuk bisa lepas dari kemiskinan. Intervensi yang berlandaskan tata pemerintahan yang baik dan didukung oleh kapasitas anggaran yang cukup, termasuk dari sumber dana desa, diperlukan untuk mengatasi dimensi kemiskinan kultural yang sangat kompleks di wilayah ini. 

 

Foto 3: Rapat tim berdiskusi terkait temuan lapangan

SDG 1 (No Poverty), SDG 16 (Peace, Justice and Strong Institutions)

Kontributor: Dr.Vidhyandika D Perkasa MSc, Rizky Indra Dewangga, dan Salsabila Azzahra

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*