Silent Flames, Estetika yang Melawan

Ada yang asing tapi akrab ketika melangkah ke dalam ruang pameran visual Silent Flames. Bukan karena gambarnya yang asing, tapi karena luka-lukanya yang terasa akrab. Pameran ini bukan tempat untuk menikmati karya, tapi untuk berhadapan dengan rasa yang ternyata sering kita hindari. Sunyi, tapi menggema. Lembut, tapi menghantam.

Seperti judulnya, Silent Flames adalah api yang membakar tanpa suara. Perlawanan yang tak berisik tapi terus menyala. Ia bicara tentang bentuk-bentuk ekspresi yang tidak selalu lantang, tapi mengganggu, menyentuh, dan menyalakan api. Pameran ini terasa seperti tubuh kolektif dengan memori yang mengendap di balik cahaya, sudut, dan bayangan. Setiap karya seolah tidak bicara untuk dirinya sendiri. Semua karya yang dipamerkan saling menyahut, saling menopang, dan saling mengungkapkan hal-hal yang terlalu berat untuk dirasakan sendiri. Di sini, kekerasan tidak dipresentasikan sebagai tragedi tunggal, tapi sebagai jaringan luka yang menempel di banyak sendi-sendi kehidupan. Semua yang tampak bukan estetika penderitaan, tapi estetika perlawanan.

Salah satu kekuatan Silent Flames pada keberaniannya menyampaikan pesan tanpa membungkusnya agar terasa aman atau nyaman. Tidak ada narasi yang “dibereskan”, tidak ada suara yang “dipoles” agar lebih “sopan”. Namun justru dari situ lah muncul kejujuran. Sehingga, semua karya dalam Silent Flames adalah ruang paling jujur dari seluruh pengirim karya yang masuk Generasi Z.

Mereka tidak hanya mengangkat isu, tapi juga menginterupsi kebiasaan kita melihat. Sebagai penonton dan penikmat karya, kita dipaksa keluar dari posisi aman. Kemudian kita digiring menjadi saksi. Posisi yang tidak nyaman, tapi sangat perlu. Karena kekerasan—baik yang terjadi secara langsung, struktural, maupun digital—selalu dikuatkan oleh diamnya orang sekitar.

Meski medium utama adalah visual, Silent Flames bukan pameran yang “visual” dalam makna umum. Ia adalah ruang afektif, ruang intersubjektif, tempat tubuh-tubuh yang berbeda bicara dengan cara masing-masing. Di satu sisi, kita disodorkan trauma dan luka. Di sisi lain, kita diberi kesempatan untuk melihat bahwa luka itu bisa menjadi bahasa. Lalu dari bahasa itu lahir solidaritas.

Shout out untuk seluruh para pengirim karya. Mereka membentuk narasi dengan fragmen dan dengan simbol. Alih-alih menuntut empati kita, mereka justru menciptakan ruang kesadaran bahwa empati menjadi satu-satunya cara untuk bertahan bersama.

Di tengah dunia yang terbiasa mengabaikan atau membungkam, Silent Flames memilih untuk tetap hadir. Memang tidak berisik, tapi dari kesunyian semacam itulah, kita justru bisa mulai mendengar lebih jelas. Tentang luka, tentang perlawanan, dan tentang kemungkinan untuk pulih bersama.

Meskipun pameran visual Silent Flames secara luring telah selesai, namun seluruh karya masih dapat diakses melalui e-katalog yang dapat diakses melalui QR berikut: 

Kontributor: Sri Rahayu 

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*