Kekerasan Seksual yang Menyerang Tubuh dan Ingatan: Pemutaran dan Diskusi Film “My Clouded Mind”, “Memoria”, dan “Changing Rooms”

Ada hal yang tidak biasa dari kegiatan PKM (Pengabdian Kepada Masyarakat) KBM tahun 2025. Bekerjasama dengan IFI Yogyakarta, Program Kajian Budaya dan Media (KBM) UGM mengadakan pemutaran dan diskusi film. Pada hari ketiga rangkaian acara ini, tepatnya Minggu (6/7), terdapat tiga film yang diputar dan didiskusikan, yakni My Clouded Mind, “Memoria”, dan Changing Rooms

Pemutaran dan diskusi ketiga film tersebut dipandu oleh Gerry Junus, seorang peneliti dan film programmer. Sementara Dr. Arifah Arum Chandra H., S.S., M.A bertindak sebagai pembicara dalam acara diskusi kali ini. Pemutaran dan diskusi film yang bertajuk Kekerasan Seksual yang Menyerang Tubuh dan Ingatan” tersebut mengundang perhatian berbagai kalangan, dari mahasiswa, komunitas film dan masyarakat sekitar. Tak heran, sekitar 35 orang hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan di ruang Auditorium IFI Yogyakarta tersebut.

Film “My Clouded Mind menyuguhkan kisah Naura yang memutuskan hubungan jarak jauhnya setelah sisi lain sang kekasih terbongkar. Suatu hal yang merusak kepercayaannya. Namun, remaja perempuan berusia 19 tahun tersebut mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO), dan harus menanggung trauma akibat foto-foto dirinya disebarkan di internet. Film yang disutradarai Annisa Adjam tersebut menunjukkan betapa beratnya perjuangan Naura untuk pulih dan kembang menjalankan kehidupannya. 

Aziz, salah satu penonton turut berkomentar bahwa ia mengalami hal yang sama dengan karakter-karakter di film My Clouded Mind”. Ini adalah sebuah pengalaman yang persis ia alami. Aziz pernah mendapati salah seorang terdekatnya mengalami hal serupa dengan yang ada dalam film dan memang sukar untuk memberikan respons. Laili juga menanggap film serupa. Katanya, kekerasan berbasis gender online adalah yang saat ini kerap terjadi, terutama di lingkungan sekitarnya.

Arifah Arum Candra menyampaikan bahwa ruang, dalam film-film ini menarik untuk diperhatikan My Clouded Mind menggambarkan kekerasan terjadi di ruang digital. Karakter Galih, kakak korban, pada awalnya menjadikan fenomena Open BO atau video revenge porn menjadi hal lumrah untuk ditertawakan. Namun, saat hal ini menimpa adiknya, ia harus segera berubah cara pandang. Galih bertindak sebagai kakak dan sebagai laki-laki dalam dua nilai yang berbeda tapi saling berpengaruh.

Film lainnya berjudul Memoriamemperlihatkan bagaimana kekerasan yang terjadi pada saat invasi Tentara Nasional Indonesia ke Timor Leste. Film ini menyajikan banyak simbol. Misalnya, luka yang dialami oleh si protagonis, Maria, ada di leher belakangnya. Luka kekerasan ini ia peroleh dari perlakuan suaminya. Posisi luka di leher belakang ini menandakan bahwa luka yang ia alami tidak dapat ia lihat dan perlu bantuan orang lain untuk menyembuhkannya. Dalam cerita ini, anaknya bernama Flora, yang membantu untuk merawat lukanya.

Sementara film terakhir berjudul Changing Rooms”. Berbeda dengan judul Internasionalnya, judul dalam bahasa Prancis jika diterjemahkan menjadi What belongs to Cesar. Meski begitu, keduanya memiliki makna yang bisa dibedah. Changing Rooms memperlihatkan bagaimana ruang ganti menjadi tempat di mana Cesar dan kawan-kawannya menanamkan nilai maskulin beracun. Nilai-nilai maskulin tersebut runtuh tatkala Cesar mengetahui bahwa kakak perempuannya menjadi korban kekerasan seksual. Ia menolak untuk mengamini nilai tersebut. 

Ratna Noviani menanggapi bahwa ada adegan saat mobil tempat kejadian perkara diangkat, seekor kucing yang berteduh di bawahnya berpindah tempat di samping kakak perempuan Cesar. Hal ini menggambarkan bahwa ruang dalam kekerasan seksual tidak selalu hitam dan putih. Ruang yang menyisakan trauma itu tidak dapat serta merta dihilangkan, karena kadang ruang trauma tersebut merupakan tempat yang aman juga bagi korban atau penyintas.

Selain itu, Arum juga menambahkan bahwa orang bisa saja menjadikan korban sebagai korban dua kali karena ucapan “seharusnya”. Seharusnya Naura tidak memberikan kesempatan pacarnya untuk ke hotel berdua. Seharusnya Maria kabur dari kejaran tentara saat hendak dirudapaksa. Atau seharusnya kakak perempuan Cesar menolak saat diajak ke mobil. Kata “seharusnya” ini yang berbahaya untuk digunakan. Menyalahkan korban dan tidak membantu pemulihan.

Diskusi berjalan dengan tanggapan dari penonton terkait bagaimana laki-laki yang datang dalam pemutaran ini jumlahnya sedikit. Padahal yang paling banyak perlu diedukasi dalam ruang-ruang seperti ini adalah laki-laki, dan bagaimana laki-laki cenderung menghindari diskusi atau wacana tentang kekerasan seksual. Gerry menanggapi bahwa ketika laki-laki kehilangan nilai maskulin yang dianutnya, muncul perasaan tidak enak. Sebab nilai tersebut sudah dipegang sejak lama. Seperti halnya Cesar dalam film Changing Rooms yang merasakan dunianya seakan-akan runtuh dan mengalami ketidaknyamanan.

Ingatan dan trauma atas kekerasan seksual tidak dapat hilang begitu saja. Ia mengendap dan seringkali dimunculkan kembali. Bahkan dalam beberapa film, kekerasan itu digandakan sehingga menciptakan re-traumatisasi. Ini terjadi dalam beberapa lanskap film Indonesia yang sebetulnya ingin merasa memberdayakan, tetapi terjebak dalam male gaze yang akhirnya malah memproduksi ulang kekerasan tersebut kepada korban. Juga bagaimana film-film yang problematik seperti itu justru jadi konsumsi umum. Cara dari pembuatnya mengadegankan kekerasan dengan cara yang detail secara audio-visual, justru menciptakan perasaan tidak nyaman pada korban. Meski dengan dalih agar orang merasakan perasaan korban, tetapi secara etis tentu banyak cara lain selain menyajikannya dengan pendekatan gore dan bombastis.

Tiga film yang baru ditonton menghindari hal tersebut. Meski memoria ada secuil adegan yang memperlihatkan adegan perkosaan dan pasca perkosaan, tetapi semuanya direkam dengan penuh empati. Tentu latar belakang dari para sutradara dan orang-orang di baliknya penting. Bagaimana kemudian pemutaran ini tidak hanya berhenti menjadi hiburan, tetapi juga produksi pengetahuan, gelar wacana, serta ruang untuk membicarakan, mendengar, serta menumbuhkan empati kepada para korban serta penyintas kekerasan seksual.

Diskusi ditutup dengan mempertanyakan peran negara, yang bisa jadi hadir, tetapi kerap kali tidak. Bahkan negara, misal dalam film Memoria, melalui representasi tentara, justru menjadi pelaku. Bagaimana negara tidak mengakui korban seperti Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI, yang menyangkal kekerasan massal yang terjadi pada tahun 98. Bagaimana sejak Orde Baru, Gerwani dan Marsinah juga menjadi sasaran dari stigmatisasi pada korban kekerasan.

Kontributor: Gerry Junus

 

 

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*