Pada pukul 10:00 WIB hari Sabtu, 5 Juli 2025, program studi Kajian Budaya dan Media (KBM) menyelenggarakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM). Salah satu aktivitas pada rangkaian kegiatan PkM yang bertempat di IFI Yogyakarta tersebut adalah Diskusi Pameran Fotografi dan Infografis ‘Dari Rasa ke Representasi: Anti-Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender di Kalangan Gen Z’. Pada kesempatan tersebut, sebagai narasumber sekaligus fotografer yang karyanya ikut dipamerkan, Arivia Rahmadiani menceritakan apa yang melatarbelakangi dirinya menciptakan karya foto yang diberi judul ‘Belitan Asa’.
Arivia menceritakan bagaimana ia beberapa kali mengalami kekerasan seksual tetapi ia tidak bisa menceritakan yang dialaminya kepada siapapun. Sebagai bentuk caranya berekspresi, ia menumpahkan pengalamannya dalam media visual fotografi. Beberapa karya fotografer lain juga mengekspresikan spirit yang serupa. Bahkan Amanda Zefanya Theresia, salah satu kreator infografis, menyatakan bahwa para penyintas sering kali justru mendapatkan tudingan-tudingan negatif padahal mereka adalah korban, seperti, “Kamu sih bajunya terlalu terbuka,” “Kamu sih nggak memuaskan suami kamu,” dan pernyataan lain yang justru semakin memojokkan mereka. Inilah yang kemudian memantik Zefanya untuk membuat infografis berjudul ‘Revikitimsasi.’
Para pengkarya dalam pameran tersebut satu persatu menceritakan pengalaman di balik karya mereka. Saat mendengarkan cerita mereka, saya sebagai pengunjung pameran dan diskusi merasa bahwa sering kali kita abai dan tidak peka pada kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Bahkan bisa jadi kita tanpa sengaja justru menjadi pelakunya. Acara pameran dan diskusi ini layak dibeli label ‘trigger warning’ sebab, sebagai sesama mantan penyintas, mendengarkan kisah-kisah kekerasan ini menimbulkan kilas balik banyak kecamuk rasa yang pernah dialami: marah, sedih, merasa tidak berdaya, dan bersalah pada diri sendiri. Namun demikian, pameran ini juga menjadi wadah bagi para penyintas, kaum subaltern (Spivak, 1994) untuk bisa bersuara. Selama ini suara mereka tak pernah terdengar, bukan hanya karena mereka terlalu kalut untuk mencerna hal yang terjadi pada mereka sehingga mereka tak mampu bersuara, tapi juga karena tidak ada wadah bagi suara mereka.
Sebagaimana Dewi Candraningrum, pemantik pada acara diskusi, menyatakan bahwa seni menjadi cara baginya yang saat itu merupakan penyintas kekerasan untuk menumpahkan gejolak emosinya. Dewi tidak berlatar belakang dunia seni, awalnya ia hanya mencoret-coret kanvas sebagai bagian dari coping mechanism. Namun saat ini ia menjadikan kanvas dan karya lukisnya sebagai bagian dari aktivismenya menyuarakan suara-suara perempuan penyintas.
Pada akhirnya, memberi wadah bagi penyintas diskriminasi dan kekerasan sekaligus mengadvokasi masyarakat untuk peka dan peduli serta menghentikan tindakan diskriminatif, represif, apalagi koersif kepada sesama masih harus terus dilaksanakan. Upaya yang dilakukan oleh Prodi KBM hanyalah merupakan embrio yang perlu terus ditumbuhkan untuk dapat menyebarkan lebih luas lagi kepedulian dan wacana anti diskriminasi dan kekerasan berbasis gender kepada masyarakat.
Referensi:
Spivak, G. C. 1994. “Can the subaltern speak?” dalam P. Williams & L. Chrisman (eds), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory. New York: Columbia University Press.
Kontributor: Adhani J. Emha
SDG 5 (Gender Equality), SDG 10 (Reduce Inequality)