“Whatever Bourdieu says, whatever Foucault says, or whatever everyone says, if you have a certain thought and it’s good, just do it!”, adalah kalimat yang terucap dari discussant saya, Dr. Maznah Mohamad selepas saya persentasi di acara 19th Singapore Graduate Forum on Southeast Asian Studies, Asia Research Institute, Nasional University of Singapore (ARI-NUS) yang berlangsung pada tanggal 18-28 Juni 2024. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada kelas dekolonial dulu. “Dekolonial”, memang menjadi semacam highlight pada acara ARI-NUS kali ini. Nafas segar proyek-proyek dekolonial telah ditunjukkan oleh beberapa partisipan dari berbagai negara yang mengikuti acara ini. Adapun pada program ARI-NUS 2024, Program Studi Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada (KBM UGM) meloloskan dua mahasiswa, satu dari jenjang S2 (Laillia Dhiah Indriani) dan satu dari jenjang S3 (Moch. Zainul Arifin).
ARI-NUS 2024 terdiri dari dua rangkaian kegiatan, yakni masterclass yang dilaksanakan pada 18-25 Juni 2024 secara hybrid, dan dilanjutkan dengan conference pada 26-28 Juni 2024 secara tatap muka di NUS. Forum ini mempertemukan scholar dari berbagai negara yang memiliki minat studi tentang Kajian Asia Tenggara dari berbagai disiplin ilmu. Baik itu dari bidang sosial, agama, gender, budaya, bahkan kesehatan. Melalui pertemuan-pertemuan pada forum ini, mengantarkan saya pada sebuah refleksi diri di academic world. Berikut ini beberapa poin penting yang saya dapatkan dari forum ini:
Tidak semua peneliti bisa “menapak tanah”
Diskusi menarik terjadi ketika beberapa partisipan berkumpul sembari menikmati makan siang. Kami baru saja mendengarkan sharing session dari akademisi yang publikasinya luar biasa bagus. “Riset tadi bagus sekali, tapi tidak menapak tanah”, ucap salah satu peserta. kata menapak tanah pada konteks ini merujuk pada bagaimana sebuah riset tidak memikirkan efek samping dari proyek development yang ditawarkan. Mereka merancang berbagai hal dengan fokus memperbaiki masa depan, tapi melupakan kelompok-kelompok rentan. Diskusi ini mengantarkan saya pada refleksi bagaiman KBM UGM selalu menekankan mahasiswanya untuk melakukan interseksi ketika melakukan sebuah riset.
Perspektif “gender” masih sangat jarang dikuasai oleh scholars
“Gender perspective” memiliki satu sesi sendiri pada ARI NUS kali ini. Bahkan dibuatkan pula satu panel khusus “gender” yang saya menjadi salah satu di dalamnya. Selepas sesi “gender perspective” ini, banyak partisipan berkata “I never use this gender perspective before”. “I teach methodology, but usually focus on how to do the methodology. I just found out that the gender perspective is very important.”. Respon serupa diberikan oleh discussant di panel gender, katanya “all talk about women, but gender is not just about women. Only two of the presenters at this time, who used a gender point of view, Both from Indonesia, Laili and Utari”
Melalui respon-respon ini, saya menyadari bahwa membangun perspektif gender tidak mudah dan tidak bisa dilakukan secara cepat, bahkan oleh peneliti yang sudah senior sekalipun. Ini menjadi Pelajaran berharga bagi saya yang memang memiliki minat riset di bidang ini, untuk terus mengasah perspektif tersebut.
Forum khusus gender yang dibuat oleh ARI-NUS ini sangat bagus untuk membangun kesadaran tentang bagaimana cara merespon sesuatu di masyarakat yang kerap didesain dari sudut pandang laki-laki.
Decolonial Project dan Chinesse Studies yang menguat
Satu hal yang sangat menarik ketika mengikuti forum ini adalah bahwa saya mendapati kesadaran untuk membangun pengetahuan baru dan mendekolonialisasi sebuah kemapanan imbas dari kolonialisme sudah semakin terasa. Menarik ketika peneliti dari Filipina mengangkat soal pengobatan tradisional, peneliti dari Malaysia berbicara tentang ras dan etnik melayu, dan masih banyak lagi. Negara-negara bekas jajahan di Asia Tenggara, telah mulai menyadari bahwa kolonialisme telah banyak menghapuskan warisan lokal dan dirasa penting untuk kembali menyadarkan masyarakat untuk keluar dari bayang-banyak kolonial.
Selain proyek dekolonial yang semakin merajalela, saya juga menyadari bahwa kini Chinesse Studies menjadi salah satu kajian yang sedang naik daun. Jika beberapa tahun lalu, banyak kajian tentang Amerika yang bahkan beberapa universitas membuka programstudi “Pengkajian Amerika”.
Pada 19th Singapore Graduate Forum on Southeast Asian Studies , ARI-NUS 2024 ini misalnya, banyak studi-studi yang membahas tentang China, mulai dari ekonomi, sejarah, bahasa, dan budaya China. Banyaknya kajian tentang China ini, menyadarkan saya pada satu hal, bahwa kini China telah menguasai berbagai lini penting kehidupan. Masyarakat tidak lagi tertarik dengan Amerika dan “barat sentris”, tapi beralih ke negara Asia, yakni China.
Penulis: Laillia Dhiah Indriani
Foto: Laillia Dhiah Indriani
SDG 4, SDG 17