Media Sosial dan Cara Halusnya Mendiskriminasi Perempuan

“Perempuan lebih sering menjadi sasaran diskriminasi dalam berbagai wacana yang ditawarkan kapitalis,” ungkap Kate Ashlyn Narag Dayag-Nonay dari University of the Philippines di sesi panel AAS-in-Asia 2024 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di hari kedua perhelatan AAS-in-Asia (10/07) ini, Kate mempresentasikan penelitiannya yang berjudul Mobility and Beauty: Critical Discourse Analysis of Filipino Brand Campaign Against Ageism. Dalam penelitiannya itu, Kate mengungkapkan bahwa industri kapitalis menjadi semakin inovatif dengan mengampanyekan perlawanan terhadap ageisme atau diskriminasi berdasarkan usia.

 

Kampanye perlawanan terhadap ageisme dilatarbelakangi oleh kejenuhan industri terhadap narasi-narasi pemasaran yang dinilai memiliki tendensi ageisme, salah satunya klaim ‘anti-aging’ dalam produk kosmetik. Tendensi ageisme ini memposisikan ‘tua’ sebagai hal yang buruk, lemah, tidak diinginkan, dan tidak bergairah. Oleh karena itu, industri menawarkan narasi alternatif, yakni ‘ageless’ yang menunjukkan bahwa menjadi ‘tua’ bukan berarti kehilangan jiwa muda. “Tua itu pasti, berjiwa muda itu pilihan,” begitulah kira-kira garis besar pesan kampanye melawan ageisme yang dilakukan oleh jenama-jenama di Filipina. Namun, pesan ini menjadi bermasalah karena pada akhirnya yang mereka lakukan bukanlah perlawanan terhadap ageisme, melainkan bentuk ageisme baru. Dalam ageisme baru ini, ‘tua’ tetap menjadi sasaran diskriminasi ketika tidak memenuhi standar ‘berjiwa muda’ yang dimaksudkan oleh para kapitalis. Dengan kata lain, dalam narasi ini ‘tua’ diposisikan sebagai pilihan, bukan proses biologis yang pasti terjadi.

Selain Kate, ada banyak peserta AAS-in-Asia 2024 yang turut menaruh perhatian terhadap diskriminasi perempuan yang ditampilkan di media sosial. Salah satunya adalah Anansa R. Consumido-Dijian dari Mapua University yang mempresentasikan bagaimana strategi pemasaran kosmetik bertajuk ‘skin-whitening’ (pencerat kulit) turut mempersuasi tendensi colorisme atau diskriminasi terhadap perbedaan warna kulit. Ada pula Helena Diana Vida dari Universitas Kristen Indonesia yang mempresentasikan risetnya mengenai wacana anti-hallyu (budaya populer Korea) dan konflik gender di media sosial. Ada juga Yuna Hwang dari Seoul National University yang mempresentasikan bagaimana teknologi memfasilitasi kolaborasi dan solidaritas tapi pada saat yang bersamaan menyuburkan praktik kekerasan berbasis gender online. Hal tersebut menunjukkan bahwa  perempuan kerap menjadi sasaran diskriminasi berbasis gender di media sosial, baik itu yang didasari oleh kepentingan komersial maupun tidak. Oleh karena itu, produksi pengetahuan mengenai bagaimana media sosial memperpetuasi diskriminasi gender menjadi penting untuk dilakukan karena semakin maju teknologi, semakin halus pula bentuk diskriminasinya.

Penulis: Asmi Nur Aisyah

Foto: Asmi Nur Aisyah

 

SDG 5 (gender equality)

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*