“I decided I was willing to be a leader in this struggle. And my beloved husband approves of this.” merupakan penggalan kalimat pada presentasi Bronwyn Anne Beech Jones ketika mengutip ucapan Siti Manggopoh di forum AAS-in-ASIA 10 Juli 2024. Siti Manggopoh yang berasal dari Sumatra adalah salah satu perempuan yang gigih melawan kolonialisme Belanda di Indonesia. Kolonialisme Belanda di Indonesia yang berlangsung bertahun-tahun, memiliki pengaruh yang signifikan bagi masyarakat Indonesia hingga hari ini. Tidak hanya mewariskan doktrin-doktrin yang secara tidak sadar masih diwariskan hingga kini, kolonialisme Belanda di Indonesia juga menciptakan kepingan sejarah yang rumit.
Melihat besarnya pengaruh kolonialisme Belanda di Indonesia, membuka diskusi menarik di forum-forum akademik. Salah satunya adalah pada acara AAS-in-ASIA yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada. Pada AAS-in-ASIA kali ini, terdapat forum khusus yang membahas kolonialisme Belanda di Indonesia yakni panel “Decolonial Memory Work: Between Indonesia and Netherlands (2)”. Panel ini diisi oleh dua panelis yakni Bronwyn Anne Beech Jones dan Kate McGregor. Kedua panelis pada panel ini sama-sama mengusung tema perjuangan perempuan dalam bingkai dekolonial, namun dengan sudut pandang yang berbeda.
Perempuan Sang Pemimpin Perang: Membicarakan Siti Manggopoh
“Berperang” menjadi asing jika disandingkan dengan perempuan karena adanya dikotomi gender yang membagi dunia menjadi maskulin dan feminin. Jika berperang saja sudah asing, maka menjadi pemimpin perang besar melawan penjajah tentu bukan hal yang mudah dilakukan oleh perempuan. Meskipun begitu, Siti Manggopoh menobrak batas-batas itu dan berbaris di garda terdepan untuk memimpin perang di tanah Manggopoh.
Bronwyn Jones, yang berkolaborasi dengan Siti Fatimah dari Universitas Negeri Padang, mencoba mengulik bagaimana perjuangan Siti Manggopoh dalam artikelnya yang berjudul “Reconstructing the Life of Mande Siti”. Pada penelusurannya, mereka menemukan bahwa latar belakang Siti Manggopoh melawan bangsa kolonial tanpa rasa takut ialah karena merasa Kolonial telah memporak-porandakan adat yang telah ada secara turun-temurun di masyarakat. Kecintaannya akan adat, budaya, dan keluarganya melebihi ketakutan terhadap bangsa kolonial.
Mengulik Sejarah Keluarga yang Tersembunyi
Perjuangan tidak melulu soal perang. Perjuangan juga dapat dilakukan dengan cara menemukan kembali sejarah keluarga yang sempat hilang. Perjuangan jenis ini tidak kalah sulit, karena tidak sedikit keluarga yang terpecah belah bersamaan dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Katharine McGregor menunjukkan perhatiannya dalam hal tersebut ketika melakukan presentasi hasil risetnya bersama Ana Dragojlovic yang berjudul “The Journey of Belonging: Remembering and Decolonising Gendered Memories of Dutch Colonialism in Indonesia”.
Dalam risetnya, Katharine dan Ana mengambil subjek analisis berupa Novel karya Lala Bohang dan Lara Nuberg berjudul “The Journey of Belonging: a herstory between time and space”. Penelitian ini berfokus untuk mengulik bagaimana perjalanan Lala dan Lara menemukan sejarah keluarganya yang rumit akibat kolonialisme Belanda di Indonesia. TIdak hanya memperlihatkan penelusuran sejarah keluarga, penelitian ini juga melirik bagaimana akulturasi budaya dalam keluarga terjadi.
Riset tentang kolonialisme Belanda di Indonesia dari berbagai sudut pandang, menarik untuk terus diulik. Pasalnya, masih terdapat berbagai celah dari peristiwa sejarah panjang kolonialisme Belanda di Indonesia. Riset-riset di bidang ini tidak hanya membawa semangat dekolonialitas, namun juga berpotensi menemukan kepingan sejarah yang sebelumnya belum sebelumnya terlupakan.
Author: Laillia Dhiah Indriani
Foto: Laillia Dhiah Indriani
SDG 5 (gender quality)