“Maskulinitas” kerap dikaitkan dengan unsur-unsur kelelakian dan viralitas. Laki-laki dengan tubuh kekar, tinggi, tatapan tajam, dan mengenakan properti tertentu yang dicap “untuk laki-laki” kerap dipakai untuk mendefinisikan bagaimana gambaran laki-laki “sejati”. Biasanya, konsep maskulinitas ini mengambil sudut pandang Barat sentris yang diwariskan melalui kolonialisme di masa lalu dan terus diturunkan hingga kini. Padahal, dunia sangat beragam, begitu juga dengan laki-laki. Setiap wilayah memiliki ciri khas yang tidak bisa disamaratakan atas dasar universalitas. Laki-laki dari Asia tidak bisa disamakan dengan laki-laki dari Eropa, begitu juga sebaliknya. Inilah yang kemudian membuat definisi maskulinitas yang berkiblat ke “Barat” tidak bisa lagi dianggap relevan.
Sadar akan keberagaman maskulinitas di Asia, Jun Lei, Shaohua Guo, Geng Song, dan Salman Riyas mencoba mendefinisikan ulang maskulinitas versi Asia pada acara AAS-in-Asia Selasa, 9 Juni 2024. Melalui panel “Reimaging Asian Masculinities in the Regime of Global Capital”, masing-masing menunjukkan bagaimana definisi maskulinitas di Asia telah berubah. Perubahan ini salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi media.
Jun Lei memulai pendefinisian ulang maskulinitas Asia dengan menelisik media nasional China. Ia mengungkapkan bagaimana koran nasional China memberitakan pekerja migran dan membentuk maskulinitas bentuk baru yang khas. Lebih lanjut, Geng Song menunjukkan pergeseran maskulinitas di Asia melalui media hiburan berbasis digital. Melalui ruang-ruang digital, maskulinitas bentuk baru terbentuk. Hal ini berkaitan pula dengan apa yang disampaikan oleh, Shaohua Guo melalui artikelnya yang menyorot tentang bagaimana tayangan televisi telah bereinkarnasi ketika menampilkan laki-laki. Fashion dan gaya laki-laki kini lebih beragam dan bisa dikatakan “menabrak” standar maskulinitas sebelumnya. Laki-laki yang tampil di industri hiburan seperti penyanyi, aktor, model, dan sebagainya, tidak lagi mengambil referensi “Barat” ketika tampil. Mereka hadir dengan membawa ciri khas nya masing-masing, ciri khas Asianya. Contoh yang paling mewakili dalam hal ini adalah idol K-pop laki-laki yang memiliki proporsi tubuh, gaya berpakaian, dan tata rias yang jauh dari garis maskulinitas bentukan kolonial.
Berbicara tentang kolonial, Salman Riyas menjelaskan tentang bagaimana kolonialisme di India sangat mempengaruhi pendefinisian maskulinitas di masyarakat. Meskipun begitu, kini maskulinitas warisan kolonial ini telah mulai direduksi oleh media. Media tidak lagi menampilkan standar maskulinitas yang barat sentris, tapi mulai menunjukkan identitas Indianya.
Melihat bagaimana media mulai menyorot tentang bentuk-bentuk maskulinitas ini, merupakan nafas segar bagi negara-negara bekas jajahan, terutama Asia. Proyek dekolonial untuk menciptakan pengetahuan baru versi lokal, sedikit demi sedikit mulai menemukan titik terang. Jika hal ini terus berlanjut, maka universalitas yang kerap dibarengi dengan diskriminasi kelompok rentan dapat terus diminimalisir.
Author: Laillia Dhiah Indirani
SGD 5 (Gender Equality)