Kehadiran media sosial telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi tidak hanya mengubah makna, bahkan hingga berpotensi menggugat sejarah di masa lalu. Sadar akan besarnya peran media sosial dewasa ini, peneliti yang sekaligus alumni Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada (KBM UGM), mencoba untuk mengabstraksi beberapa fenomena yang kemudian dipresentasikan pada forum AAS-In-ASIA, 9 Juni 2024 lalu. Mereka tergabung dalam panel “Social Media and Reshaping Cultural, Feminism, and Remembrance” .
Rivi Handayani berkolaborasi dengan Finsensius Yuli Purnama membuka sesi panel dengan risetnya yang berjudul “From Collective Memory to Meta-Memory: TikTok’s Dynamic Reshaping of the G30S PKI Incident Commemoration in Indonesia”. Mengambil ruang riset TikTok, Rivi dan Finsensius menemukan sebuah fakta menarik tentang bagaimana kini kreator konten Tik Tok, banyak membuat konten dengan tema “G30S PKI”. “G30S PKI” yang sebelumnya menjadi fenomena kelam bagi sejarah masyarakat Indonesia, banyak diparodikan dan disampaikan dengan cara yang lebih beragam. Dengan melibatkan berbagai jenis elemen visual dan tekstual, konten tentang PKI di TikTok telah mengubah apa yang sebelumnya disebut sebagai kolektif memori menjelma menjadi meta memori. Fenomena ini telah membuka sebuah fakta tentang media sosial (khususnya TikTok), yang jika dimanfaatkan dengan benar, dapat membuka peluang edukasi yang bahkan bisa mengubah sejarah. Sebab dalam kasus ini, peristiwa 30 September tidak sebatas tentang genosida semata, tapi juga menyangkut persoalan-persoalan yang belum terbongkar hingga saat ini.
Melanjutkan presentasi Rivi dan Finsensius, Chung Ji Pyo datang dengan topik yang mendialogkan antara budaya Korea dan bagaimana budaya tersebut dipertentangkan di Indonesia. Melalui judul penelitian “Discourses on Anti-Hallyu and Gender Conflict in Indonesia: An Analysis through Social Media Comments and Group Discussion”, Ji Pyo mencoba menguraikan alasan-alasan di balik penolakan budaya Korea (Hallyu) di Indonesia. Proses penelitiannya dilakukan melalui penelusuran media sosial serta Forum Group Discussion (FGD). Hasilnya, ditemukan berbagai poin menarik yang melatarbelakangi hal tersebut, mulai dari motif agama, ekonomi, hingga stigma tentang budaya Korea yang dikonsumsi publik melalui media sosial. Temuan yang tak kalah menarik ialah, bahwa media sosial telah membentuk stigma tersendiri di masyarakat tentang budaya Korea, hingga menimbulkan berbagai penolakan.
Menyusul temuah Ji Pyo mengenai stigma budaya Korea yang diperkaya oleh media sosial, studi yang dilakukan oleh Helen Diana Vida juga tak kalah menarik. Mengambil judul “Liminal Feminism on Instagram: New Paradigm of Feminism in Indonesia”, Helen menguraikan bagaimana perkembangan perempuan dalam teori feminisme dan mengambil studi kasus yang dialami traveler perempuan di media sosial, khususnya Instagram. Helen menyebut hal ini sebagai liminal feminism. Liminal feminism adalah sebuah keadaan ketika perempuan ada di ruang antara. Posisinya tidak dianggap sebagai perempuan yang “ideal” menurut masyarakat, tapi ia juga berbeda dengan perempuan kebanyakan. Misalnya, perempuan telah memiliki pekerjaan bagus dan pendidikan tinggi, namun ia tidak dianggap ideal karena belum menikah atau belum memiliki anak. Kasus ini, diuraikan dengan jelas ketika Helen membicarakan akun Trinity Traveler di Instagram. Bagaimana Trinity yang telah menjadi perempuan berdaya dan bepergian kesana kemari, tidak dianggap ideal karena kondisi fisik dan statusnya yang belum menikah.
Melalui ketiga penelitian ini, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa media sosial begitu besar perannya dalam melahirkan persepsi baru di masyarakat. Kemudahan yang dibawanya dapat membentuk budaya baru, menggiring opini tertentu, hingga merekonstruksi sejarah. Kondisi ini tidak dapat dihindari, namun dalam keadaan tertentu justru dapat dimanfaatkan untuk mengkritisi sesuatu.
Author: Laillia Dhiah Indriani
Foto: Panitia AAS
SDG 5 (gender equality), SDG 9 (industry, innovation, and infrastructure)