Islam dan Budaya Populer: Area Negosiasi Antara Agama dan Identitas

“Bagaimana bernegosiasi sebagai perempuan yang beragama Islam dan menjadi fans K-Pop?” begitulah kira-kira pertanyaan dari salah satu partisipan panel “Observing the Construction of Identity in Gender and Religion Transcends Cross-Border Boundaries” di forum AAS-In-ASIA, pada Kamis, 11 Juli 2024. Kelindan antara agama, identitas, dan budaya populer memang selalu menjadi topik menarik untuk didiskusikan, terutama di ruang-ruang akademik. Tak hanya persoalan K-Pop semata, panel yang di selenggarakan pada hari terakhir AAS-In-ASIA di Universitas Gadjah Mada tersebut juga mengangkat tema Punk muslim, stigma penulis perempuan, dan pendefinisian tubuh perempuan. Pada forum kali ini, 3 orang dari  keluarga besar Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada yang terdiri dari mahasiswa S2 dan alumni, turut berpartisipasi.

 

Presentasi pertama dibuka oleh Cristina Duque Martinez secara virtual dengan judul Sensuality in Hip Movements Is the Identity of Women, the Comparative in Understanding of Value between Ecuador and Indonesia. Penelitiannya berfokus pada bagaimana tubuh berperan sebagai alat penegas identitas bagi perempuan di Ekuador dan Indonesia. Selain berbicara tentang tubuh perempuan, Cristina juga menyinggung perihal intervensi postkolonial yang melebur dalam tarian, cerita, dan sensualitas. 

 

Selepas membicarakan tentang tarian, diskusi panel dilanjutkan dengan pemaparan dari Aldillah Rizky Adisti (Ara), mahasiswa S2 KBM UGM. Pada kesempatan ini, Ara menyampaikan hasil risetnya yang berbicara mengenai penggemar K-Pop yang membuat forum dakwah di telegram dengan Telegram As a Comfortable Virtual Space: A Netnographic Research in the Da’wah and K-Pop Communities”. Salah satu temuan riset ini menunjukkan bahwa adanya arena negosiasi dan penepisan stigma pada seorang KPopers muslimah. K-Pop sebagai sesuatu yang bukan berasal dari budaya Islam, kerap disebut haram oleh beberapa kelompok Islam tertentu. Sehingga, banyak penggemar K-Pop, terutama perempuan tidak bisa secara terbuka mengekspresikan dirinya. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat arena negosiasi berupa channel Telegram yang selalu memutar lagu-lagu K-Pop sebelum mengadakan pengajian (mempelajari agama Islam). Pada forum ini, perempuan K-Popers dapat merasa aman untuk berekspresi, dengan tetap melakukan ajaran-ajaran Islam.

 

Diskusi yang menyilangkan antara budaya populer dan Islam kemudian berlanjut pada kasus selanjutnya yakni Punk. Punk akrab dengan musik hardcore, jalanan, dan beberapa aksi yang kerap dinilai jauh dari agama, didefinisikan ulang oleh M. Fahmi Nurcahyo pada penelitiannya yang berjudul “Muslim Hardcore What We Stand for : The Struggle of Identity Politics and Redefining Punk”. Pada penelitian ini, Finchy (sapaan dari M. Fahmi Nurcahyo) menggambarkan bagaimana sebuah band hardcore punk asal Surabaya bernama “The Fourtys Accident” mendefinisikan ulang istilah “Punk” dengan menyatakan kelompoknya sebagai “Punk Muslim”. Kehadiran Punk Muslim adalah counter hegemony terhadap identitas Punk terdahulu yang umumnya jauh dari agama. Kelompok ini mendialogkan identitas Punk dengan keIslaman.

 

Panel ini kemudian ditutup oleh presentasi dari Adhani Juniasyaroh Emha yang membahas mengenai sastra perempuan muslim dengan judul “Understanding the Lives of Muslim Women in Different Parts of the World from Nara Ali’s “Rope That Binds” and Zoulfa Katouh’s “As Long As the Lemon Trees Grow”. Pada tulisan ini, Syaroh mencoba untuk menentang perspektif “Barat” yang kerap menunggalkan sastra perempuan muslim yang dianggap selalu berisi tentang gerakan pembebasan dari sistem patriarki dan agama. Padahal, kehidupan muslim sangat beragam dan memiliki perbedaan latar belakang dan budaya. Pada analisisnya, Syaroh mengambil dua contoh karya sastra perempuan muslim yang menunjukkan pengalaman beragam perempuan yakni “Rope that Binds” (2023) karya Nara Ali dan “As Long as the Lemon Trees Grow” (2022) karya Zoulfa Katouh.

 

Author: Laillia Dhiah Indriani

Foto: Laillia Dhiah Indriani

 

SGD 5 (gender equality), SGD 9 (industry, innovation and infrastructure)

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*