Kembali ke Film setelah Lulus: #CatatanMahasiswaKBM Awardee Short Course Australian Awards Indonesia di Sektor Perfilman

Peserta, penyelenggara, dan mentor Australian Awards Indonesia Short Course ‘At the Forefront of Film: Screenwriting and Directing’ (Dok. AAI)

“Ingat, jangan sampai apartemen kalian berasap. Kalau alarm kebakaran menyala dan pemadam kebakaran datang, kalian akan didenda 1.700 dolar!” ujar Mommy Rama, welfare officer short course Australian Awards Indonesia yang saya ikuti: ‘At the Forefront of Film: Screenwriting and Directing’. Kami memanggilnya Mommy karena ialah yang membimbing kami selama kurang lebih dua minggu (11-26 Januari 2025) menjalani short course di Brisbane, Australia. Hari pertama kedatangan diawali dengan wanti-wanti agar kami tidak merugi, sebab uang saku kami kurang dari nominal denda tersebut, yakni 1.300 dolar Australia.

Saya tidak pernah menyangka bisa menjadi salah satu dari 25 peserta terpilih dalam short course ini, apalagi setelah mengetahui bahwa jumlah pendaftarnya mencapai 700 orang. Terlebih, saya hanya mewakili rumah produksi kecil yang saya rintis bersama teman-teman kuliah sarjana, yang bahkan belum pernah memproduksi film panjang. Ternyata, pengalaman dalam produksi berskala besar bukanlah faktor yang meloloskan peserta. Sebaliknya, yang lebih diperhitungkan adalah potensi untuk memberikan dampak bagi komunitas, sekecil apa pun skalanya. Ke-25 peserta terpilih ini berasal dari berbagai latar belakang profesi di industri film, mulai dari penulis naskah, sutradara, produser, hingga praktisi dokumenter, yang mewakili rumah produksi dan komunitas film dari berbagai daerah di Indonesia.

Belajar teknik reading dengan menginterogasi karakter (Dok. AAI)

Dari Belajar Reading hingga Kunjungan Kampung Pascaproduksi

Selama dua minggu di Brisbane, kami serasa menjadi mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Siang hari pukul 09.00 hingga 17.00 mengikuti perkuliahan; malamnya menyelesaikan pekerjaan—rata-rata pembuat film menyandang status pekerja lepas; akhir pekan mengerjakan tugas perkuliahan. Beberapa materi perkuliahan bukan hal yang baru bagi kami, seperti strategi pitching film, metode alternatif pengembangan skenario yang melampaui Hero’s Journey, rencana financing dan trik produserial, produksi film romantic-comedy untuk audiens remaja perempuan, prosedur pengadeganan intim dalam film, hingga pengetahuan mengenai festival film. Namun, yang baru bagi kami adalah konteks industri film Australia yang membuat kami mengernyit mengingat betapa rentannya status pekerjaan kami di Indonesia, terlebih setelah mendapat materi dari Screen Queensland, agensi investasi film di Queensland, Australia.

Bagi saya pribadi, materi perkuliahan paling berkesan adalah metode reading (pembacaan naskah) dengan aktor yang melibatkan interogasi karakter dan penerapan subteks. Materi yang juga berkesan adalah produksi film yang ramah difabel dan kelompok marginal dari Bus Stop Film, institusi edukasi dan produksi film inklusif di Australia. Kami juga mendapat materi mengenai produksi film yang melibatkan masyarakat adat pertama (first Nation people), Aborigin dan Torres, baik dari segi cerita maupun proses produksi. Upaya pengenalan terhadap first Nations people juga diperdalam dengan kunjungan ke Jellugral Aboriginal Cultural Centre di Gold Coast. Saya juga sangat terkesan ketika diajak berkeliling di Village Roadshow Studios, perkampungan pascaproduksi di Gold Coast yang melibatkan berbagai perusahaan yang bergerak di beragam bidang pascaproduksi, mulai dari pembuatan karakter 3D, color-grading, efek visual, animasi, dan masih banyak lagi. Kira-kira kapan ya Indonesia punya kampung pascaproduksi seperti ini?

Hari terakhir short course, peserta berfoto di Brisbane Sign (Dok. AAI)

Bertemu dan Terkoneksi dengan sesama Peserta yang ‘Keren’

Selain materi pembelajaran, bagian lain yang paling berkesan dalam short course ini adalah interaksi dengan sesama peserta. Sebagai filmmaker yang tidak terobsesi dengan pencapaian, saya baru sadar di minggu kedua short couse bahwa para peserta yang terpilih adalah orang-orang yang sangat keren di bidangnya. Ada yang film pendeknya tayang di Cannes Film Festival Perancis, ada pemenang Eagle Awards Indonesia, ada aktor serial Gadis Kretek, ada produser Samsara—film pembuka JAFF 19, dan masih banyak lagi. Namun, berinteraksi dengan mereka membuat saya paham bahwa mereka keren bukan semata karena pencapaian-pencapaian tersebut. Perjalanan jatuh-bangun di industri film, landasan kecintaan terhadap profesi, hingga pengalaman-pengalaman personal yang menginspirasi karya merekalah yang membuat mereka layak berpijak di titik ini. Saya sangat bersyukur bisa kenal dengan mereka dan menjadi bagian dalam perjalanan sebagai sesama peserta short course ini.

Saya mempresentasikan Award Project (Dok. Pribadi Asmi)

Sebagai peserta short course, kami diwajibkan membawa award project sebagai objek pembelajaran. Sebagian besar peserta mengerjakan proyek berupa naskah film yang sedang mereka garap, mulai dari dokumenter, film pendek, hingga film panjang. Sebagian lainnya berencana mengadaptasi materi pembelajaran selama short course menjadi workshop film yang akan diselenggarakan di daerah masing-masing dengan melibatkan komunitas atau instansi yang menaungi mereka. Saya sendiri membawa proyek berupa buku saku pengembangan cerita film pendek untuk festival film, yang berawal dari kegelisahan saya terhadap obsesi rekan-rekan filmmaker untuk menayangkan film mereka di festival-festival bergengsi demi meningkatkan reputasi. Proyek ini mengombinasikan materi pragmatis tentang pengembangan naskah film pendek dengan refleksi kritis mengenai politik representasi, yang saya pelajari selama perkuliahan magister Kajian Budaya dan Media (KBM), Universitas Gadjah Mada (UBM).

Award project yang saya kerjakan ini melibatkan riset auto-etnografis terhadap dua naskah film pendek yang saya tulis. Dengan demikian, rangkaian short course ini sekaligus menjadi penanda kembalinya saya ke dunia film setelah jeda karir selama dua tahun untuk fokus kuliah di KBM UGM. Saya berharap, award project yang saya kembangkan ini tidak hanya berdampak bagi rumah produksi saya sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para pembuat film lain dalam mengembangkan cerita film pendek mereka. Sebagai medium yang cukup eksploratif, saya meyakini bahwa film pendek memiliki potensi menjadi ruang ambivalen—ia dapat merepresentasikan sekaligus meliyankan subjek-subjek yang diangkat di dalamnya.

Kontributor: Asmi Nur Aisyah

SDG 4 (quality education), SDG 5 (gender equality), SDG 17 (partnership)

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*