Bagaimana merancang rumusan kebijakan kebudayaan (cultural policies)? Bagaimana kaitan antara kebijakan dan kebudayaan? Bagaimana pengaruh kebudayaan dengan kebijakan, atau sebaliknya? Pertanyaan yang paling mendasar soal kebijakan kebudayaan ialah apa itu kebudayaan? Dan apa itu kebijakan? Kebudayaan menurut Koentjaraningrat ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra selaku pengampu kuliah berkala ini mengkritisi definisi kebudayaan tersebut dengan mengatakan, definisi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun masih lemah pada tataran hakekat, tidak didasarkan pada filosofi manusia, serta belum menunjukkan fungsi kebudayaan.
“Definisi kebudayaan dari Koentjaraningrat tidak ada yang mengkritisi hingga sekarang. Apa betul begitu definisinya? Apa sudah sesuai dengan“tujuh unsur kebudayaan” tersebut?” jelas Heddy di depan 170 peserta kuliah berkala di Auditorium SPs UGM, Selasa (24/1) lalu.
Menurut Heddy, konsepsi “kebudayaan” tersebutbelumrapi. Ada overlappadaunsurdanwujud, wujudbelumlengkap dan begitu juga dengan unsurkebudayaan. Ia mencontohkan dengan, apakahpada “sistemreligi” tidakada “sistempengetahuan” dan “bahasa”? Atau apakahpada “matapencaharian” tidakada “sistempengetahuan” dan “bahasa”? Atau apakahpada “kesenian” tidakada “sistempengetahuan”, “bahasa” dan “sistemteknologi”? Atau apakahpada “organisasisosial” tidakada “sistempengetahuan” dan “bahasa”? Atau “sistempengetahuan” dan “bahasa” itu “wujud”/aspekatauunsur? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dipertanyakan ulang dan dikritisi oleh pembuat kebijakan kebudayaan.
Heddy melanjutkan, dalam merancang perumusan kebijakan kebudayaan, ada tiga hal utama, yaitu, organisasi yang membuat kebijakan, kebijakan yang dibuat, dan kebudayaan apa atau yang mana yang dituju oleh kebijakan tersebut. Selanjutnya, ada tiga relasi yang mendapat perhatian dalam proses perumusan kebijakan kebudayaan, yaitu organisasi dan kebijakan, organisasi dan kebudayaan, serta kebijakan dan kebudayaan. Heddy menekankan pada tiga relasi inilah yang menjadi perhatian pada kajian kebijakan kebudayaan.
Kuliah berkala dan pelatihan Kebijakan Kebudayaan (Cultural Policies) ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kelas ini diampu oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Bersama Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana, UGM, kuliah berkala ini terdiri atas empat pertemuan. Pertemuan pertama dan kedua diisi dengan konsep kebudayaan dan kebijakan serta kasus-kasus kebudayaan di Indonesia maupun pada negara-negara Eropa yang sudah memiliki kebijakan kebudayaan. Sementara pertemuan ketiga dan keempat akan diisi dengan metodologi penelitian kebijakan kebudayaan meliputi definisi, wujud, dan implikasi metodologi yang digunakan, serta bagaimana implementasi kebijakan kebudayaan untuk konteks di Indonesia.