Ngangsu Kawruh Perfilm-an ke Negeri Kangguru: Merekam Citra, Menjalin Asa (Sebuah Diary Singkat Mahasiswi S3 KBM UGM)

Siapa sangka kata-kata sambil lalu saya-“Suatu saat saya harus berkunjung ke Australia lagi ah”  saat berkunjung ke negeri Kangguru dalam rangka menemani suami visiting lecture di University of Melbourne pada tahun 2023, terwujud. Dan siapa sangka saya ke Australia bukan untuk jalan-jalan tapi sekolah! Semua berawal dari iseng-iseng berhadiah mengirim aplikasi shortcourse program ‘At The Forefront of Film Directing and Screenwriting’ ke https://www.australiaawardsindonesia.org/ yang informasinya saya baca di sebuah WhatsAppGroup dan lewat portal daring. Terus terang, saya tidak memiliki kepercayaan diri berlebih mengingat saya tidak memiliki latar belakang pendidikan film atau sejenisnya, pun kiprah saya di industri film masih seumur jagung. Namun durasi yang ditawarkan dalam kursus singkat ini sungguh terlalu indah untuk dilewatkan yakni 17 hari saja dan akan diselenggarakan di sebuah sekolah film bergengsi di Griffith University, Brisbane. Sebagai ibu, yang memiliki keterikatan waktu karena tanggung jawab pengasuhan anak, plus tengah menempuh S3 KBM UGM di semester awal, jelas shortcourse tersebut sangat cocok.

Saat saya mengirimkan aplikasi, entah ada semacam keyakinan bahwa program shortcourse ini akan ‘mencari jiwa yang pas’ para pesertanya, sebagaimana saya percaya sebuah karakter dalam skenario film akan ‘mencari aktor’ yang pas untuk memerankannya. Voila, terpilih menjadi bagian dari 25 peserta seluruh Indonesia dari sekitar 800 applicants adalah kehormatan. Lebih merasa ‘homey’ ketika tahu bahwa ada salah satu mahasiswa S2 Kajian Budaya Media lainnya turut terjaring dalam program, Asmi. Kegiatan course nya sendiri terbagi menjadi 3 tahap; pre-course yang diselenggarakan selama 3 hari di Yogyakarta bersamaan dengan JAFF-Netpac pada Desember 2024, in-course Australia diselenggarakan selama 16 hari di Brisbane Januari lalu, hingga post-course yang sedianya diselenggarakan di Jakarta pada pertengahan Mei 2025 mendatang saat Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) digelar.

 

Kegiatan in-course Australia bagaikan sekolah film 4 tahun yang diringkas jadi 2 minggu saja. Dari awal saya tahu bahwa saya datang ke Australia untuk ngangsu kawruh alias menuntut ilmu, bukan playing tourist. Begitu melihat rundown sesi dan materi yang selalu fully loaded dari jam 9 pagi hingga 5 sore, rutinitas saya menjadi scholar di S3 KBM –yang terlatih karena mengikuti kelas Pak Bud dan Bu Nana tentu saja- pun auto gerak. Saya cari tahu semua materi yang keesokannya dibahas, men-stalking siapa pembicaranya dan memastikan duduk paling depan (maklum Inggris-nya Australia harus lebih fokus kalau mendengarkan). Sehingga setiap kelas mulai, saya kondisikan ‘otak’ tidak zonk dan blank.

Salah satu sesi yang saya tunggu-tunggu adalah presentasi dari produser film Australia yang ‘langganan’ menggarap film romcom sukses di Netflix, Steve Jaggi. “Mencari formula film sukses sekaligus menghormati audiensnya”, adalah prinsip Jaggi.

Namun tak bisa dipungkiri, salah satu sesi yang paling enlightening adalah sesi pendalaman karakter pada materi acting coach yang didapuk oleh casting director Peter Rasmussen (https://peterrasmussen.com.au/classes/uta-hagen-at-home-6-week- online-course) . Sebagai penulis naskah, saya terbiasa ‘mendikte’ karakter dalam film dengan satu atau dua baris ilustrasi karakter sebelum diperankan aktor. Dengan sesi yang diperkenalkan sebagai ‘character interrogation and subtext’, aktor, sutradara, bahkan penulis memiliki keleluasaan untuk ‘bermanuver’ memberi ruang menyelami jiwa karakter. Sebuah metode yang sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam film panjang saya yang ke-6: I am Sarahza yang saat ini akan memasuki masa syuting. Meski demikian, seluruh materi dan sesi menjadi brand new knowledge karena selama ini saya tidak pernah mendapatkan ilmu tersebut di ruang akademis. Saat Dean Chircop sebagai kepala program shortcourse di Griffith menerangkan tentang tata kamera dan penciptaan emosi dari manuver kamera, Martha Goddard memberi tips mem-breakdown script yang efisien, Margaret McVeigh mengajak kami ke Galeri Seni dan Pertunjukan (GOMA), Katrina Irawati Graham memperkenalkan tentang inklusivitas dalam dunia film (ya, dia keturunan Indonesia!), dan belasan speakers yang nggak kaleng-kaleng di industri film Australia dihadirkan, saya merasa mendapatkan kesempatan emas sekolah ke luar negeri yang selalu saya impikan di paruh usia yang nggak muda lagi: di atas 40 tahun! Saya apresiasi proses seleksi Australian Award Indonesia yang menilik bukan pada usia atau jam terbang pengalaman, namun lebih pada potensi dan dampak positif yang akan kami berikan pada komunitas dan industri itu sendiri.

Dan dari dua minggu menjelajah singkat dunia film Australia lewat kelas seminar, hingga site visit ke Jellugral Aboriginal Cultural Centre dan studio film di Goldcoast, secercah pertanyaan muncul: Kapan ya pemerintah benar-benar hadir untuk mendukung industri sekaligus infrastruktur kreatif film yang menaungi jutaan keluarga Indonesia? Apalagi, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari ragam keelokan budaya, tradisi, dan cerita yang khas serta otentik yang merupakan modal besar menjadi softpower di dunia global. Yah, semoga saja.

Buat teman-teman yang tertarik mengikuti program shortcourse tahun 2025/2026 dari beragam disiplin bisa cek informasinya di sini : https://www.australiaawardsindonesia.org/content/1000288/13/short-courses- 2025?sub=true. Salah satu keseruan yang menjadi esensi program shortcourse adalah award project setiap peserta. Award project adalah desain project yang dibuat untuk memberi dampak positif bagi komunitas yang akan dipresentasikan saat post-course Mei nanti. Berhubung tentang dunia directing dan screenwriting dan saya terinspirasi untuk mengetengahkan gender mainstreaming, saya memilih menyelesaikan sebuah skrip film yang saya dedikasikan untuk seluruh single parent (single moms) yang berjuang untuk keluarga mereka. Semoga tak hanya sampai di skrip namun filmnya!

Sesi yang paling berkesan sekaligus mengharukan adalah sesi networking with filmmakers. Sebuah farewell session yang menutup seluruh rangkaian in-course di Brisbane bersama seluruh peserta dan para pemateri. Kami saling bertukar pikiran, tukar kontak, dan menjalin asa dan harapan untuk kerjasama di masa yang akan datang. Bahkan saya memiliki kesempatan diskusi panjang dengan Dr. Margaret McVeigh tentang disertasi saya. Namun Bu Dyah Saptaria dari Kedutaaan Australia dan welfare officer kami, Rama Brierty mengingatkan “Kerjasama awal untuk dibangun justru di antara kalian ber-25 itu, lho”. Betul juga, seketika, kami ber-25 orang, 13 cowo 12 cewe, dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote, dari seluruh interseksionalitas beragam, dalam 16 hari menjadi ‘keluarga besar’ yang erat. Pulang pergi ke sekolah bersama, belanja dan memasak bersama, mengerjakan homeworks siang-malam, saat sakit pun saling mengulurkan tangan. Kami melupakan daya saing, melainkan ‘daya saling’ dalam membesarkan film Indonesia ! Chop-chop Film Indonesia!

Kontributor: Hanum Salsabiela 

 

SGD 4 (quality education), SDG 5 (gender equality), SDG 17 (partnership for the goals)

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*