Opera Jawa (2006) besutan Garin Nugroho merupakan film opera pertama di Indonesia. Film ini terinspiasi oleh cerita yang sangat populer dari khazanah kesusastraan klasik India kuno yakni fragmen “Penculikan Sinta” dari epik Ramayana. Ia berkisah tentang pergulatan cinta segi tiga, cinta yang penuh gairah antara Setyo (Martinus Miroto), Siti (Artika Sari Dewi), dan Ludiro (Eko Supriyanto), yang pada akhirnya mengarahkan ketiganya ke dalam ajang perseteruan berdarah dan penuh kekerasan.
Opera Jawayang memenangkan banyak penghargaan itu dikenal sebagai film yang memadukan berbagai bidang dan genre seni di dalamnya. Mulai dari seni vokal, musik Jawa (tembang dan karawitan), seni kostum, seni tari, hingga seni rupa kontemporer (seni instalasi) dari para maestro seni. Sehingga, film ini kaya akan aspek visual atau jejaring makna visual. Atas dasar inilah Kris Budiman menjadikan Opera Jawa sebagai objek kajian untuk studi doktoralnya pada Program Studi Kajian dan Budaya Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Kris Budiman memulai kajian semiotiknya dengan mempertanyakan narativitas Opera Jawa; signifikasi visual karya seni instalasi di dalam konteks naratif Opera Jawa; dan, keterhubungan signifikasi visual karya seni instalasi dengan narativitas Opera Jawa. Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Ombak dengan judul Ajang Perseteruan Manusia: Sebuah Kajian Semiotik Atas Opera Jawa Garin Nugroho, awal 2016.
Pertengahan Maret (18/03) lalu, Program Studi Kajian Budaya dan Media mengadakan acara bincang buku atas buku Kris Budiman tersebut di Ruang Sidang A, lantai 5 Gedung SPs UGM. Sebagai pembicara, hadir di sana Nanang Rakhmat Hidayat, M.Sn (penata artistik Opera Jawa) dan Dr. Budi Irawanto (Direktur Jogja Asian Film Festival-NETPAC).
Nanang bercerita tentang ‘perseteruan’ para kru pembuat Opera Jawa, baik antarseniman maupun antara seniman dengan sutradara, Garin Nugroho. Opera Jawa, menurutnya adalah film yang dibuat tanpa naskah. Film ini tidak dilengkapi blueprint, di mana film kerap diproduksi sesuai anjuran naskah yang sudah disepakati antara produser dan sutradara. Opera Jawa justru dibuat mengikuti selera arsitektur tubuh, yakni arsitektur yang sewaktu-waktu bisa dibongkar kembali.
“Ini produksi film yang paling melelahkan buat saya. Saya sempat berpikir untuk menulis tentang tujuh kesalahan Garin Nugroho dalam Opera Jawa,” ujar Nanang sembari tertawa.
Sementara itu, Budi menyoroti tentang kehadiran seni instalasi dalam Opera Jawa. Kehadiran seni instalasi tidak hanya mampu menstimulasi adegan, tapi juga mengubah makna dari konsep ruangyang ada di dalam film. Seni instalasi mengandaikan ikatan dengan penonton terhadap film atau seni yang tengah disaksikan. Kehadiran seni instalasi lebih jauh menarik dicermati dalam dunia perfilman: apakah melawan pasar atau sebaliknya mendukung pasar (industri film)?
Menurut Budi, Opera Jawa banyak mengandung kode budaya (visual dan audio) yang semuanya tidak selalu dianut atau merujukkepada budaya dan tradisi di Indonesia. Ia mencontohkan seni kostum (pakaian berwarna hitam) yang dikenakan oleh Sukesi (ibu Ludiro) ketika Ludiro dibunuh oleh Setyo dalam peperangan memperebutkan Siti. Bagi Budi, mengenakan pakaian berwarna hitam ketika berkabung sudah menunjukkan identitas budaya (atau bias) dari film-film keluaran Hollywood.
“Ini juga menjadi kritik pada studi film yang menitikberatkan pada aspek visualitas semata. Bahwa, ada banyak kode budaya, dimensi lain dari sebuah film yang dapat dikaji lebih dalam dan kritis,” terang Budi.