Sorotan dari Panel 1 DAAD Alumni Treffen and Seminar 2025

Pada tanggal 28-29 April 2025, KBM UGM menyelenggarakan pertemuan alumni DAAD di Phoenix Hotel Yogyakarta. Acara pertemuan ini dilaksanakan selama dua hari dengan mengangkat tema “Digital Indonesia: Towards Inclusion and Empowerment in Indonesia’s Digital Era”.

Pertemuan ini terdiri dari dua agenda utama, yakni seminar dan World Café Forum. Seminar yang berlangsung pada hari pertama dibuka secara resmi dengan lagu kebangsaan dan sambutan oleh Ketua Panitia, Ratna Noviani, S.I.P., M.Si., Ph.D., yang menyampaikan apresiasi kepada peserta dan undangan. Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dr. Guido Schnieders, Direktur DAAD Jakarta Office, yang menyoroti 100 tahun perjalanan DAAD secara global dan 35 tahun eksistensinya di Indonesia. Ia juga memperkenalkan buku elektronik Alumni DAAD Indonesia yang kini tersedia secara daring. Pembukaan resmi dilakukan oleh Dekan Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Ir. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D., IPU., ASEAN.Eng., yang menekankan pentingnya kesadaran kritis terhadap wacana efisiensi di era post-truth.

Acara berlanjut dengan peluncuran buku Digital Indonesia: Inclusion and Equality in Gender, Sexuality, Religion, Ecology and Disability yang disunting oleh Ratna Noviani dan Dewi Candraningrum. Dalam sambutannya, Dewi Candraningrum menekankan urgensi penerbitan buku ini sebagai respons atas kompleksitas ketimpangan sosial di era digital.

Sesi Keynote Speech menghadirkan dua pembicara utama yakni Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA. (UGM) yang membahas budaya flexing dan institusionalisasi gaya hidup mewah di Indonesia, serta Prof. Dr. Hong Ching Goh (Universiti Malaya) yang menyoroti tantangan digitalisasi di komunitas pesisir Sabah, Malaysia. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. Anggoro Cahyo Sukartiko, dosen UGM dan alumni DAAD.

Usai sesi utama, peserta terbagi dalam dua panel diskusi. Panel pertama dipimpin oleh Ibu Dr. Onny Setyawati, alumni DAAD dan dosen dari Universitas Brawijaya. Terdapat tiga pembicara dalam panel ini, yaitu Prof. Dr. Hermin Indah Wahyuni, Dr. Phil. Dewi Candraningrum dan Dr. M. Ali Imron. Prof. Dr. Hermin Indah Wahyuni memberikan presentasi berjudul Ecological Communication in the Complexity of Modern Society, yang berisi paparan mengenai tokoh pencetus teori dan proyek-proyek yang ia lakukan berkaitan dengan teori komunikasi Autopoiesis. Paparan ditutup dengan pertanyaan reflektif tentang bisakah masyarakat modern beradaptasi terhadap ancaman-ancaman ekologis? Konsep ecological communication dapat menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut. Dr. Phil. Dewi Candraningrum sebagai presenter kedua menyampaikan paparan yang berjudul Planet, Pollution, and Sarmini’s Leadership: Study of Digital Activism of Nguter Sukoharjo Residents against PT. RUM. Paparannya menceritakan tentang aktivisme digital yang dilakukan oleh para perempuan di Sukoharjo melalui handphone. Tindakan aktivisme yang dilakukan para perempuan di Sukoharjo cukup sederhana, yaitu dengan menyebarkan informasi terkait polusi-polusi yang disebabkan oleh PT. RUM. Tak hanya berhenti di situ, ia juga secara holistik membahas permasalahan yang lebih mendasar, terkait ketimpangan gender yang masih terjadi dalam aktivisme digital serta devaluasi perempuan. Panel ini ditutup dengan paparan oleh Dr. M. Ali Imron terkait risiko iklim dan kehidupan masyarakat pribumi Papua. Dalam paparannya yang berjudul Living with the Tides: Climate Risks and Indigenous Life Along the Papua Coast, Ia menyampaikan bahwa masyarakat tradisional telah mengenal konsep-konsep iklim serta mengetahui bagaimana cara hidup dan beradaptasi ketika mengalami iklim atau fenomena tertentu. Poin utama yang ingin ia sampaikan adalah, melalui pengalaman nyata para masyarakat indigenous di tanah Papua dan melalui ketahanan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan bahwa perubahan iklim bukanlah merupakan ancaman, tetapi merupakan realitas yang sedang terjadi dan berjalan normal dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan memperkuat resiliensi atau ketahanan masyarakat dalam menghadapi realitas tersebut. Tak hanya masyarakat, pemerintah juga harus ikut andil dalam mempersiapkan dan menghadapi bencana yang akan datang.

Panel kedua, bertema Mediating Minorities and Activism in Digital Space, dilaksanakan secara paralel, membahas peran media digital dalam memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas dan membangun ruang advokasi.

Acara ini tidak hanya memperkuat jejaring alumni DAAD di Indonesia, tetapi juga menjadi ruang reflektif untuk merespons tantangan global melalui lensa inklusi digital dan keadilan sosial.

Kontributor: Rizky Indra Dewangga
Dokumentasi: Leonardo Y. Borneva

SDG 5, SDG 10, SDG 13, SDG 15, SDG 16, SDG 17

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*